Tentang; Alam Raya.
Mari kembali berbincang perihal jarak dan
cita-cita.
Aku sempat berkelana, pergi dan hilang rasanya tak
asing lagi. Bukan itu saja, perpisahan sudah seperti teman terbaikku ketika
memulai perjalanan. Perjalanan yang awalnya akan menjadikan aku manusia paling
bahagia, pada akhirnya hanya akan membawaku ke suatu persimpangan agar tetap
bersamamu. Namun aku sendirian karena kamu sudah lebih dulu pergi.
Tapi kali ini aku tidak ingin membahas perihal
perjalanan kita yang sudah tersesat dan tak tahu arah kembali. Namun akan
kembali aku perlihatkan padamu perihal angkasa yang bertolak belakang diantara
kita, perihal jarum jam yang bergerak tapi tak seiring dengan langkah kita dan
perihal malam yang menghiasi langitmu dan mentari yang lebih menguasai
langitku.
Awalnya aku percaya dengan jarak, dengan bentangan
alam raya yang memisahkan kita. Aku tetap memilih kokoh untuk mecintaimu. Aku
menganggap, tak ada yang salah ketika dua orang yang saling mencintai memilih
untuk berjalan bersama mimpinya masing-masing.
Dan ketika mimpi itu sanggup menyekatkan kita
dengan jarak, ketika cita-cita mampu membuatmu berbalik dan meninggalkan aku
sendiri di kota yang semakin sesak penduduk ini. Kamu tau, aku tak pernah
membenci pilihanmu itu.
Aku biarkan langkahmu itu membawamu pada titik yang sudah kamu rencanakan. Walau air mata tak henti terurai dari pelupuk mataku, aku tak perduli. Karena untukku saat itu, bahagia yang kamu inginkan kelak akan menjadi bahagiaku juga.
Aku biarkan langkahmu itu membawamu pada titik yang sudah kamu rencanakan. Walau air mata tak henti terurai dari pelupuk mataku, aku tak perduli. Karena untukku saat itu, bahagia yang kamu inginkan kelak akan menjadi bahagiaku juga.
Bandara menjadi saksi bisu kala itu, saat terakhir akali
dekapanmu sanggup menghentikan riuh-riuh diruang kepalaku dan genggaman hangat
jemarimu yang membuatku percaya kelak kamu pulang dengan rindu yang sudah siap
dibayarkan. Juga bersama perasaan yang masih sama.
Tapi manusia bukan yang paling ahli dalam hal
mengira masa depan, terkadang kita lupa dengan semesta. Karena nyatanya semesta
yang tahu bagaimana kelak perjalanan kita berlanjut, apakah kamu akan pulang
dengan membawa rindu atau justru sebaliknya. Kamu kembali tapi hatimu tidak
lagi mengenal aku sebagai pemiliknya.
Kupikir jarak tidak akan pernah menjadi halangan,
selagi kita masih mampu melihat langit yang satu. Aku kira akan sesederhana
itu. Tapi tiba-tiba jarak berubah menjadi kalimat yang sangat menyeramkan.
Terlebih ketika jarak mengikutsertakan rindu yang tak sanggup aku lunasi
seorang diri.
Jarak juga berhasil mengubahmu. Jarak menjadikanmu
seseorang yang tidak lagi aku ketahui kehangatannya. Jarak mampu menghapus aku
perlahan-lahan dari hatimu, sampai akhirnya jarak sanggup menyekat kita berdua
dengan perasaan yang tak lagi satu.
Lagi-lagi ini menjadi salahku. Mungkin aku terlalu
percaya diri kalau aku mampu berhadapan dengan jarak. Aku terlalu yakin dengan
mimpi yang nanti akan membawamu pulang dan kembali bahagia. Dan aku tidak
pernah sekalipun memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang nantinya akan
menyesatkan kita.
Semesta, aku kembali kehilangan. Kali ini aku
kehilangan ia karena kamu membawanya jauh dari jangkauanku. Kali ini aku
kehilangannya bukan karena lain orang melainkan ia lebih mencintai kota itu
daripada aku. Semesta, bolehkah aku menitip sesuatu untuknya. Tolong sampaikan
pada alam raya agar memberitahu perihal rinduku ini. Dan sampaikan juga padanya
untuk tetap percaya pada mimpi-mimpi yang telah membawanya pergi. Semesta,
kehadirannya mendatangkan bahagia untukku maka ketika ia memilih untuk pergi
aku percaya ada bahagia yang lebih baik yang menungguku di lain waktu.
Komentar
Posting Komentar